Jumat, 28 September 2018

PENGOLAHAN JAMBAL ROTI

PENGOLAHAN JAMBAL ROTI

I.   PENDAHULUAN


Fermentasi bahan pangan adalah sebagai hasil kegiatan beberapa jenis mikroorganisme diantara beribu-ribu jenis bakteri.  Dari organisme-organisme yang memfermentasi bahan pangan yang paling penting adalah bakteri pembentuk asam laktat, bakteri pembentuk asam asetat dan beberapa jenis khamir penghasil alkohol.  Jenis-jenis kapang tertentu juga berperan utama dalam fermentasi beberapa bahan pangan.
Jambal roti pada awalnya merupakan produk perikanan hasil fermentasi yang terbuat dari ikan Manyung (Arius thalassimus).  Istilah jambal roti digunakan karena karakter tekstur dagingnya yang mudah hancur setelah digoreng layaknya roti panggang.  Proses fermentasi merupakan faktor paling menentukan karena pada tahap ini terjadi precursor cita rasa dan aroma khas jambal roti.  Jambal roti ikan patin merupakan suatu diversifikasi produk dari pemanfaatan ikan patin.

II.  TINJAUAN UMUM


2.1  Klasifikasi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius sp)
 Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer saat ini, karena rasa daging yang lezat dan harganya yang relatif murah.  Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah:
Filum                          : Chordata
Subfilum                    : Vertebrata
Kelas                         : Pisces
Subkelas                   : Teleostei
Ordo                           : Ostariophysi
Subordo                     : Siluroidae
Famili                         : Pangasidae
Genus                         : Pangasius
Spesies                      : Pangasius sp.

 
Gambar 1. Ikan patin (Pangasius sp.)

            Ikan patin memiliki rangka dari tulang sejati dengan badan memanjang bewarna putih seperti perak dan punggung kebiru-biruan.  Salah satu kekhasan dari ikan patin adalah kepalanya yang relatif lebih kecil dengan mulut yang tidak dapat disembulkan dan letak mulut yang di ujung kepala agak di sebelah bawah.  Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai peraba.  Sirip punggung ikan patin memiliki 6-7 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang dapat berubah menjadi patil bergerigi setelah dewasa.  Pada punggung terdapat sirip lemak yang berukuran sangat kecil dan biasa disebut adipose fin.  Sirip ekor berbentuk cagak dan simetris.  Ikan patin tidak memiliki sisik.  Sirip duburnya panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki 6 jari-jari lunak.  Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil (Saanin 1984).


2.2.  Komposisi Kimia Ikan Patin
Bagian tubuh ikan yang dapat dimakan terdiri dari jaringan otot dan daging.  Besarnya bagian tergantung dari bentuk, umur, dan waktu penangkapan sebelum atau sesudah bertelur, tetapi umumnya berkisar antara 45-50 % dari  berat ikan (Suzuki 1981).  Komposisi kimia ikan patin per 100 gram daging ikan dapat dilihat pada Tabel 1. 
Tabel 1.  Komposisi kimia ikan patin
Komposisi kimia
Persentase (%)
Kadar protein
17,86
Kadar lemak
2,19
Kadar abu
1,05
Kadar air
77,40
Sumber : Sufianto (2004)

            Komposisi kimia ikan berbeda-beda tergantung pada spesiesnya.  Dengan adanya perbedaan/ variasi dari komposisi kimia ikan tersebut, maka ikan dapat dikelompokan dalam lima kategori (Stansby 1962) seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2.  Pengelompokan ikan berdasarkan variasi lemak dan protein

Kategori
Jenis ikan
A
Lemak rendah (<5 %) - Protein tinggi (15- 20 %)
B
Lemak sedang (5-15 %) - Protein tinggi (15-20 %)
C
Lemak tinggi (>15 %) - Protein rendah (<15 % %)
D
Lemak rendah (<5 %) - Protein sangat tinggi (>20 %)
E
Lemak rendah (<5 %) - Protein rendah (<15 %)

2.3. Teknologi Pengolahan Jambal Roti di Beberapa Daerah
            Cara pembuatan jambal roti di Jawa pada prinsipnya sama, tetapi setiap daerah memiliki ciri  khas sehingga kualitas jambal roti yang dihasilkan bervariasi.  Di Pekalongan garam yang digunakan 30-35% dari bobot ikan selama 1-2 hari, di Cirebon menggunakan garam sebanyak 30-35% selama 1 hari, di Pangandaran dan Eretan sebesar 30-35% selama 2 hari, dan di Cilacap 30-35%, bahkan untuk jambal roti kualitas dua sebanyak 40-45% selama 2 hari (Burhanuddin, dkk, 1987).  Sampai saat ini para pengolah jambal roti belum mengikuti aturan tertentu, hanya berdasarkan kebiasaan setempat.


III.  PENGOLAHAN JAMBAL ROTI IKAN PATIN

           
Uji coba pembuatan jambal patin melalui tahap-tahap sebagai berikut : 


Berdasarkan Tabel 2, ikan patin (Pangasius sp.) termasuk dalam kategori C, yaitu ikan dengan kadar protein tinggi (15-20 %) dan kadar lemak (>15 %).  Dalam uji coba ini, ikan patin yang digunakan berukuran lebih dari 3 kg.  Hal ini supaya jambal yang dihasilkan memiliki daging yang tebal.  Kandungan lemak yang tinggi akan menyebabkan ketengikan pada ikan jambal.  Selain itu, penjemuran relatif lebih lama karena daging tidak cepat kering.  Selama proses penjemuran, sebaiknya lemak yang menempel pada daging dibuang. Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia Jambal Roti Ikan Patin dibandingkan dengan Jambal Roti Ikan Manyung.
           



Tabel 3.
Hasil analisa Jambal roti dari ikan Patin dan Manyung

Parameter
Patin
Manyung
Kadar air
45.07%
55.23%
Kadar abu
12.10%
13.23%
Kadar Lemak
20.63%
1.74%
Kadar Protein
17.79%
28.59%
TPC
5.6 x 10^4
6.2 x 10^5




            Secara umum, kualitas jambal roti dari ikan manyung masih lebih baik dari ikan patin.  Selain kandungan lemak yang tinggi, kadar protein jambal roti ikan patin jauh lebih rendah.  Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap daya awet jambal roti patin karena kandungan lemaknya yang tinggi akan mempercepat proses oksidasi sehingga mudah tengik.  Uji coba ini hanya memberikan alternatif pengolahan ikan patin sebagai salah satu ikan air tawar yang kini sedang banyak dibudidayakan.  Kekurangan yang ada perlu disiasati dengan proses penanganan yang bersih dan higienis sehingga dapat memperpanjang umur simpan. 




KEPUSTAKAAN


Saanin H.  1984.  Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta, Bandung.

Stansby ME.  1962.  Proximate composition of fish.  Dalam Fish in Nutrition. Heen E dan Kreuzer R (eds). Fishing News (Books) Ltd.  Ludgate House, London. England.

Sufianto B.  2004.  Kemunduran mutu ikan patin (Pangasius hypophthalmus) segar selama penyimpanan pada suhu ruang. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Suzuki T.  1981.  Fish and Krill Protein. Applied Science Publ.  Ltd. London.

PENDEDERAN INTENSIF UDANG GALAH DENGAN TEKNOLOGI BIOFLOK

PENDEDERAN INTENSIF UDANG GALAH DENGAN TEKNOLOGI BIOFLOK





 
Sumber: 

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2013

Jumat, 21 September 2018

Upaya Meramu Pakan Ikan Tanpa Minyak dan Tepung Ikan

Upaya Meramu Pakan Ikan Tanpa Minyak dan Tepung Ikan


Sampai saat ini para peneliti belum menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai panjang yang tidak jenuh (highly unsaturated fatty acids, HUFA) terutama asam eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun untuk konsumsi manusia. 

Seperti diketahui bahwa keberadaan kedua asam lemak tersebut sangat dibutuhkan oleh ikan budidaya laut untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Umumnya ikan laut tidak bisa mensintesa EPA dan DHA sendiri dan juga tidak bisa diperoleh dari minyak nabati.
Sehingga tidak mengherankan bila budidaya ikan laut sangat membutuhkan pakan dengan bahan penyusun dari ikan hasil tangkapan di laut yang biasanya memiliki harga lebih murah (mis. anchovy, sarden, dan mackerel) daripada ikan budidaya, maka kegiatan budidaya ikan laut sering diistilahkan sebagai aktivitas “memproduksi ikan dengan ikan”.
Asam lemak omega-3 EPA dan DHA juga sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, terutama pada masa pertumbuhan bayi. Kedua asam lemak ini banyak berguna dalam sistem pertahanan tubuh (immune system) terhadap penyakit, anti-kanker, dan berfungsi penting dalam sistim syaraf, otak dan mata.
Asam lemak ini juga dapat mencegah penyakit jantung akibat kolesterol dan tekanan darah tinggi. Juga berguna dalam pengobatan penyakit rematik, memperlancar aliran darah, dan mempertinggi daya pembelajaran janin/bayi. Dengan demikian, sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan lebih banyak daripada daging hewan lainnya.
Meskipun kontroversial, akhir-akhir ini banyak ahli nutrisi mempertanyakan kelebihan bahan makanan ikan atau penggunaan minyak ikan dalam pakan sehubungan dengan tingginya kadar residu beberapa bahan kimia yang berbahaya bagi manusia di dalam tubuh ikan, seperti dioxin dan polychlorinated byphenyls (PCBs). Kadar kontaminasi bahan kimia dalam tubuh ikan budidaya adalah lebih tinggi daripada ikan dari alam seperti yang telah dilaporkan pada ikan salmon dalam Jurnal Science (Hites et al., 2004).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa ikan salmon dari Eropa mengandung bahan kontaminasi lebih tinggi daripada yang Amerika Utara dan Selatan. Di alam, ikan karnivora yang berukuran lebih besar memiliki kandungan dioxin dan PCBs lebih tinggi daripada ikan yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena bahan kimia tersebut sebagian besar terakumulasi dalam tubuh organisme, sehingga semakin tinggi trofik level, semakin tinggi pula kadar akumulasi bahan kimia tersebut. Sementara itu, kadar dioxin dan PCBs pada tumbuh-tumbuhan atau minyak nabati jauh lebih rendah daripada yang dikandung oleh minyak ikan.
Baru-baru ini, beberapa pendekatan yang telah dicoba untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan minyak ikan dalam pakan, dan untuk mengurangi kontaminasi bahan kimia dalam tubuh ikan akan diulas seperti di bawah ini. 

1.  Substitusi minyak/protein nabati
Selain karena stok ikan laut dunia sebagai sumber utama bahan pakan ikan budidaya adalah semakin menurun akibat over-fishing dan faktor alam, untuk mengurangi kandungan bahan kimia seperti dioxin dan PCBs dalam tubuh ikan budidaya, beberapa peneliti di Eropa sudah mencoba mensubstitusi minyak ikan dengan minyak nabati seperti minyak sawit (palm oil), minyak biji rami (linseed oil) atau minyak lobak (rapeseed oil). Akan tetapi substitusi tersebut tidak bisa menggantikan semua minyak ikan dalam pakan. Dan khusus untuk tahap pembenihan, pengkayaan (enrichment) EPA dan DHA pakan makanan larva ikan laut belum bisa dihindari.
Di Jepang, penelitian subtitusi minyak ikan dengan minyak nabati bisa dikatakan tidak ada, meskipun hampir semua kebutuhan minyak ikan mereka impor dari negera-negara Amerika Latin. Mereka lebih konsentrasi pada penelitian yang diarahkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva, pertumbuhan, dan kualitas daging ikan yang dihasilkan. Juga, membuat pakan ikan yang ramah lingkungan (“eco-friendly diet”), misalnya untuk mengurangi loading fosfor dan ammonia dari ikan ke perairan.
Meskipun penggantian minyak ikan dengan minyak nabati sampai 50% tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan, akan tetapi kandungan asam lemak EPA dan DHA dalam tubuh ikan turun drastis. Hal tersebut disebabkan karena ikan laut tidak bisa mensintesa sendiri EPA dan DHA dari asam lemak C18 yang banyak dikandung oleh tumbuh-tumbuhan. Jenis ikan budidaya yang telah diketahui tidak memiliki atau sangat rendah aktivitas enzimnya yang bekerja dalam sintesa EPA dan DHA adalah ikan sebelah (turbot) untuk enzim elongase (Ghioni et al., 1999), dan ?5-desaturase untuk ikan kakap (gilthead sea bream) (Mourente et al., 1993).
Ikan salmon menunjukkan kemampuan sedikit lebih besar dalam memanfaatkan minyak nabati. Meskipun demikian, kandungan EPA dan DHA ikan salmon juga menurun bila hanya diberi pakan dengan minyak nabati dan terus menerus. Untuk mengembalikan kandungan EPA dan DHA mendekati ikan yang diberi pakan dengan minyak ikan, Bell et al., (2003) menyarankan perlakuan “wash out”, yaitu mengganti pakan yang mengandung minyak nabati dengan pakan yang mengandung minyak ikan beberapa bulan sebelum panen dilakukan. Substitusi minyak ikan dengan minyak nabati juga telah menurunkan kadar dioxin dan PCBs pada ikan salmon (Bell et al., 2004).
Selain masalah asam lemak omega-3 di atas, kandungan asam amino tepung nabati juga tidak selengkap dengan tepung ikan yang kaya akan amino esensial seperti lysine dan methionine. Protein nabati juga tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh ikan. Dengan demikian, ketergantungan ikan budidaya pada tepung ikan juga masih sangat tinggi. Aplikasi bioteknologi yang bisa meningkatkan kemampuan ikan memanfaatkan minyak/protein nabati mungkin akan membatu mengurangi ketergantungan tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi para bioteknologist untuk menemukan faktor pembatas dalam sistem metabolisme protein yang terlibat dalam pencernaan pakan nabati.

2. Memelihara ikan jenis karnivora lebih boros
Saat ini, salah satu jenis ikan yang menjadi ikan budidaya unggulan yang telah ditetapkan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) adalah ikan kerapu. Walau harga ikan kerapu relatif mahal dibandingkan dengan ikan budidaya laut lainnya, tetapi kita tahu bahwa ikan ini adalah ikan jenis karnivora dan sampai saat ini ikan kerapu belum bisa memanfatkan pakan buatan.
Akibatnya, hampir semua daerah yang mengembangkan ikan kerapu menggunakan pakan berupa ikan rucah mentah. Harga ikan rucah memang murah dan masih relatif mudah diperoleh. Akan tetapi selain suplainya sangat tergantung musim, juga kualitasnya sangat bervariasi. Ikan rucah juga bisa sebagai sumber panyakit yang bisa menular ke ikan budidaya.
Dengan hanya memberikan pakan berupa ikan rucah ditambah beberapa sumber protein nabati seperti kedele, untuk memproduksi ikan kerapu dengan bobot 0,5 kg, dibutuhkan sekitar 6 kg ikan rucah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan rucah yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan budidaya ikan kerapu yang sudah digongkan oleh DKP tersebut.
Pada beberapa daerah yang suplai ikan rucahnya sudah tidak mencukupi, misalnya di Riau, ikan kerapu diberi pakan berupa ikan tongkol/tuna yang mentah yang berukuran kecil. Mereka mengorbankan ikan tongkol kecil karena harganya lebih murah daripada ikan kerapu hidup. Mereka lupa bahwa ikan tongkol/tuna yang kecil merupakan cikal tongkol/tuna ukuran besar. Bila kegiatan budidaya seperti itu terus berjalan dan menjadi intensif, maka stok ikan tongkol/tuna di perairan kita akan menurun drastis dalam waktu yang singkat.
Untuk itu menjadi tantangan bagi Tim Rusnas DKP program ikan kerapu untuk membuat pakan buatan yang disenangi oleh ikan kerapu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Strategi yang pernah dilakukan pada ikan ekor kuning (yellowtail) atau kakap merah (red seabream) di Jepang yang pada awalnya tidak bisa memanfaatkan pakan buatan menjadi terbiasa, bisa ditiru untuk ikan kerapu.

3. Melirik ikan jenis herbivora/omnivora
Ikan air tawar pada umumnya mampu mensintesa omega-3 EPA dan DHA dari asam lemak C18. Sehingga mereka tidak begitu membutuhkan suplai minyak/tepung ikan dalam makanannya. Oleh karena itu, pengembangan budidaya ikan yang bersifat herbivora atau omnivora sebagai sumber protein hewani, dapat menjadi alternatif pengganti budidaya ikan jenis karnivora.
Beberapa peneliti Jepang sudah mulai memikirkan untuk mengembangkan ikan-ikan herbivora. Akan tetapi mereka tidak punya banyak pilihan jenis ikan. Ikan tilapia yang telah menunjukkan pertumbuhan dan kualitas daging yang bagus walau hanya diberi makan berupa plankton, tidak bisa hidup bebas di alam Jepang dengan temperatur yang sangat bervariasi tergantung musim. Selain itu, orang Jepang tidak begitu senang makan ikan air tawar.
Sebaliknya, beberapa jenis ikan air tawar yang telah lama kita kembangkan, seperti ikan tilapia, mujair, gurame, ikan mas dan ikan patin, bisa lebih ditingkatkan produksinya, baik melalui perbaikan sistem budidaya atau pun dengan aplikasi bioteknologi. Ada beberapa jenis ikan air tawar, seperti tilapia dan mujair, mampu hidup pada rentang salinitas yang luas. Ikan-ikan seperti ini dapat kita kembangkan untuk masa depan.
Beberapa hasil penelitian bioteknologi pada tanaman telah menunjukkan adanya peningkatan daya tahan terhadap kadar garam tinggi. Teknik ini mungkin bisa digunakan untuk meningkatkan daya adaptasi ikan air tawar pada salinitas air payau atau bahkan air laut untukmengantisipasi semakin sempitnya lahan budidaya air tawar.

4. Bioteknologi dalam budidaya ikan
Ikan air tawar umumnya mengandung omega-6 lebih banyak daripada omega-3.Sebaliknya, ikan laut mempunyai omega-3 lebih banyak. Asam lemak omega-6 banyak kita dapatkan dari sayur-sayuran, dan jarang orang kekurangan asam lemak kelompok ini. Meskipun ikan air tawar bisa memproduksi sendiri asam lemak omega-3, tetapi kadar asam lemaknya jauh lebih rendah dibandingkan dengan apa yang ada pada ikan laut.
Ikan laut banyak mengandung omega-3 bukan sebagai hasil produksi sendiri, tetapi hanya mengakumulasikan asam lemak tersebut di dalam tubuhnya secara selektif dari makanan yang dimakan. Hal ini yang menyebabkan ikan laut yang dibudidayakan tidak bisa terlepas dari suplai EPA dan DHA dalam makanannya, khususnya pada fase pembenihan. Sehingga peningkatan produksi akuakultur yang berlipat ganda dalam dua dasawarsa terakhir ini merupakan salah satu penyebab cepatnya penurunan stok ikan laut dunia (Naylor et al., 2000).
Salah satu bentuk kemajuan bioteknologi yang mungkin dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah pakan ikan laut dan juga suplai EPA dan DHA untuk manusia adalah melalui modifikasi sistem metabolisme asam lemak pada ikan. Dengan cara melipatgandakan jumlah copy gen yang bekerja dalam sintesa asam lemak HUFA, maka kadar EPA dan DHA dalam tubuh ikan meningkat sebesar 1,4 dan 2,1 kali lipat daripada ikan biasa (Alimuddin et al., 2005).
Pada penelitian itu, masih digunakan ikan air tawar sebagai model. Dengan cara yang sama, strain ikan laut yang bisa mensintesa EPA/DHA sendiri berpeluang besar untuk dibuat. Aplikasi teknologi ini pada ikan laut akan membuka peluang pengembangan budidaya ikan laut lebih besar lagi tanpa harus mengorbankan ikan berukuran kecil lebih banyak lagi. Juga dengan membudidayakan ikan laut jenis ini, kebutuhan akan minyak ikan menjadi menurun atau mungkin semuanya bisa digantikan oleh minyak nabati. Dengan kata lain biaya pakan ikan budidaya yang bisa melebihi 50% biaya produksi dapat ditekan sehingga kegiatan budidaya menjadi lebih ekonomis.

(Sumber : Simposium Nasional Bioteknologi Dalam Akuakultur, Juli 2006)

BUDIDAYA IKAN TAWES(Puntius Javanicus. Blkr)

1. BUDIDAYA IKAN TAWES(Puntius Javanicus. Blkr)

1. PENDAHULUAN
Penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan budidaya ikan konsumsi. Usaha pembenihan banyak dilakukan di Kabupaten Magelang, seperti di Desa Paremono Kecamatan Mungkid oleh karena didukung ketersediaan air cukup baik musim kemarau maupun penghujan. Disamping itu usaha pembenihan dirasa lebih rnenguntungkan karena waktu yang digunakan relatif singkat kurang lebih 3 minggu - 1 bulan, serta pemasarannya pun mudah. Pembenihan ikan tawes ada beberapa cara yaitu pembenihan ikan di kolam, pembenihan di sawah dan pembenihan di hapa. Pengalaman Pembenihan Ikan Tawes di kolam yang dilakukan oleh MARZANI KTNA Paremono Mungkid ternyata cukup menggembirakan.
1. PEMILIHAN INDUK
  1. Untuk mendapatkan benih yang berkualitas dan jumlah yang banyak dalam pembenihan Tawes perlu dipilih induk yang baik dengan ciri-ciri :
    1. Letak lubang dubur terletak relatif lebih dekat ke pangkal ekor
    2. Kepala relatif lebih kecil dan meruncing
    3. Sisik-sisiknya besar dan teratur
    4. Pangkal ekor lebar dan kokoh
  2. Pada umumnya ikan tawes jantan mulai dipijahkan pada umur kurang lebih 1 tahun, dan induk tawes betina pada umur kurang lebih 1,5 tahun. Untuk
    mengetahui bahwa induk ikan tawes telah matang kelamin dan siap untuk dipijahkan dengan tanda-tanda sebagai berikut :
    1. Induk betina
      • Perutnya mengembang kearah genetal (pelepasan) bila diraba lebih lembek
      • Lubang dubur berwarna agak kemerah-merahan
      • Tutup insang bila diraba lebih licin
      • Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan kehitam-hitaman.
    2. lnduk jantan
      • Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan berwarna keputih-putihan (sperma)
      • Tutup insang bila diraba terasa kasar
2. PERSIAPAN KOLAM
  1. Kolam pemijahan ikan tawes sekaligus merupakan kolam penetasan dan kolam pendederan. Sebelum dipergunakan untuk pemijahan, kolam dikeringkan.
  2. Perbaikan pematang dan dasar kolam dibuat saluran memanjang (caren/kamalir) dari pemasukan air kearah pengeluaran air dengan lebar 40 cm dan dalamnya 20-30 cm.
3. PELEPASAN INDUK
  1. Induk ikan tawes yang telah terpilih untuk dipijahkan kemudian diberok, pemberokan dengan penempatan induk jantan dan betina secara terpisah
    selama 4-5 hari 
  2. Setelah diberok kemudian induk ikan dimasukkan ke kolam pemijahan yang telah dipersiapkan
  3. Pemasukan induk ke kolam pada saat air mencapai kurang lebih 20 cm
  4. Jumlah induk yang dilepas induk betina 25 ekor dan induk jantan 50 ekor
  5. Pada sore hari kurang lebih pukul 16.00 air yang masuk ke kolam diperbesar sehingga aliran air lebih deras.
  6. Biasanya induk ikan tawes memijah pada pukul 19.00-22.00
  7. Induk yang akan memijah biasanya pada siang hari sudah mulai berkejar-kejaran di sekitar tempat pemasukan air.
4. PENETASAN TELUR
  1. Setelah induk ikan tawes bertelur, air yang masuk ke kolam diperkecil agar telur-telur tidak terbawa arus, penetasan dilakukan di kolam pemijahan juga
  2. Pagi hari diperiksa bila ada telur-telur yang rnenumpuk di sekitar kolam atau bagian lahan yang dangkal disebarkan dengan mengayun-ayunkan sapu lidi
    di dasar kolam
  3. Telur ikan tawes biasanya menetas semua setelah 2-3 hari 
  4. Dari ikan hasil penetasan dipelihara di kolam tersebut selama kurang lebih 21 hari.
5. PEMUNGUTAN HASIL BENIH IKAN
  1. Panen dilakukan pada pagi hari
  2. Menyurutkan/mengeringkan kolam
  3. Setelah benih berada dikamalir/dicaren, benih ditangkap dengan menggunakan waring atau seser
  4. Benih ditampung di hapa yang telah ditempatkan di saluran air mengalir dengan aliran air tidak deras
  5. Benih lersebut selanjutnya dipelihara lagi di kolam pendederan atau dijual.
6. PENDEDERAN
  1. Mula-mula kolam dikeringkan selama 2-3 hari
  2. Perbaikan pematang, pembuatan caren/saluran
  3. Dasar kolam diolah dicangkul, kemudian dipupuk dengan Urea & SP 36 1 0 gr/m2 dan pupuk kandang 1 - 1,5 kg/m2 tergantung kesuburannya.
  4. Setelah kolam dipupuk kemudian diairi setinggi 2-3 cm dan dibiarkan 2-3 hari kemudian air kolam ditambah sedikit demi sedikit sampai kedalaman 50 cm
  5. Kemudian benih ditebar di kolam pendederan dengan padat tebar 10-20 ekor/m2
  6. Pemeliharaan dilakukan kurang lebih 3 minggu - 1 bulan.
  7. Selanjutnya dapat dipanen dan hasil benih dapat dijual atau ditebar lagi di kolam pendederan II.
 SUMBER 
 Balai Informasi Penyuluh Pertanian Magelang; Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id, Maret 2001

Minggu, 16 September 2018

PEMANFAATAN LIMBAH OLAHAN LELE UNTUK PRODUKSI PROBIOTIK (PRO-BBPBATS)

PEMANFAATAN LIMBAH OLAHAN LELE UNTUK PRODUKSI PROBIOTIK (PRO-BBPBATS)






  
Sumber:  Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi

Jumat, 14 September 2018

PENANGANAN HAMA DAN PENYAKIT IKAN BETUTU

PENANGANAN HAMA DAN PENYAKIT IKAN BETUTU



Penyakit yang menyerang ikan betutu merupakan interaksi yang sangat kompleks antara lingkungan, organisme patogen dan penanganan budidaya itu sendiri.  Jika kondisi ikan dan lingkungan memungkinkan berkembangnya organisme penganggu, maka ikan akan mudah terserang oleh penyakit.  Misalnya, air tempat budidaya kotor, penuh sampah, keruh air jarang diganti, dasar dan tepi kolam terlalu kasar/tajam sehingga mengakibatkan luka pada ikan.  Luka-luka pada tubuh ikan memungkinkan basil-basil penyakit melakukan pentrasi kedalam tubuh ikan.
          Penyakit pada ikan dapat juga terjadi karena nutrisi pakan yang diberikan kurang, bak kuantitas maupun kualitasnya.  Kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat juga dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit, misalnya suhu air dan pH air yang tidak cocok bagi kehidupan ikan. 
          Pencegahan penyakit pada ikan betutu dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.    Pemberian pakan yang cukup, baik kuantitas maupun kuantitasnya
2.    Sanitasi kolam secara teratur, minimal 3 bulan sekali
3.    Melakukan penggantian air kolam sesering mungkin, bila mungkin setiap hari air kolam diganti dengan cara dialiri
4.    Menjaga kebersihan kolam agar tidak ada otoran atau sampah yang dapat mengundang bibit penyakit
5.    Ikan yang sudah terserang penyakit diambil dan dimusnahkan
6.    Penyakit yang sering menyerang ikan betutu dan pengobatannyasebagai berikut :
NO
PENYAKIT
GEJALA
PENGOBATAN
BAHAN KIMIA
BAHAN ALAMI
1
Penyakit Viral
Nafsu makan menurun, Hidup menyendiri, gerakannya lamban, dropshy, badannya kesat, kulitnya melepuh dan timbul mozaik berwarna merah, hijau, dan lain-lain tergantung pada jenis virusnya.
Penyuntikan denganTerramysin dengan dosis 25 mg/berat tubuh ikan
Perendaman dengan ekstrak sambiloto
2
Bakteri (Aeromonashydrophilla, danPseudomonas
sp
Permukaan badan, terutama perut dan pangkal sirip, berwarna merah dan sering berdarah
 - Kulit melepuh dan sisik hilang
- Perendaman dengan larutan PK dosis 2 % selama 10 menit dan diulangi setisp 3 hari sekali
- Penyuntikan dengan Oxytetracyclin
Perendaman dengan ekstrak sambiloto
Perendaman dengan ekstrak kunyit
  sebagian atau rusak
- Insang rusak dan warnanya berubah dari merah menjadi keputih-putihan/keabu-abuan
- Lendir banyak hilang (keset) sehingga tubuh ikan terasa kasar
HCL/Teramycen dengan dosis 25 mgr tiap kg berat tubuh ikan
3
Penyakit Mikotik
(Saphroregnia sp)
Terdapat benang-benang jamur (mycelium) yang menempel pada tubuh ikan,
Kulit terkelupas
-  Perendaman dengan garam dapur dengan dosis 20 gr/ltr air bersih selama 10 menit
-  Perendaman dengan Methylen blue pada dosis 5 ppm selama 3 jam
Direndam dengan daun sambioto, atau daun sirih dengan dosis dapat disesuaikan,Karena daun ini bersifat
anti biotik dan anti septic
4         4
Penyakit parasiter protozoa (Ichthyopthiriusmultifiliis. F)
-    Ikan bergerak lamban dengan nafas tersengal-sengal
-    Pada sirip dan insang terdapat bintik-bintik putih
-    Ikan sering menggosok-gosokkan badannya pada benda-benda keras 
-Perendaman dengan larutan Malachit Green Oxalate 0,5 g ditambah 25 cc larutan formalin dalam 1m air bersih, selama 12-24 jam.
-    Perendaman dengan Methylen blue 10 gr dalam 100 cc air
-    Perendaman dengan larutan garam dapur pada konsentrasi 3 gr/ltr air, selama 5 -10 menit dan di ulangi selama 3 hari berturut-turut.
Perendaman dengan ekstrak sambiloto
Perendaman dengan buah daun miana







DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, D.  2001.  Budidaya Ikan Betutu.  Kanasius. Yogyakarta.
Komarudin, Ujang.  2000.  Betutu; Pemijahan Secara Alami dan Induksi, Pemeliharaan di Kolam, Keramba dan Hampang.  Penebar Swadaya.  Jakarta.   
Kurniawan R. dan Syafei L.S, 2005. Buku Seri Kesehatan Ikan “Betutu Sehat Produksi Meningkat”. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Penyuluhan Perikanan, Bogor.

PENGOLAHAN IKAN GURAME

PENGOLAHAN IKAN GURAME A.       Potensi Ikan Gurami Ikan  Gurami  adalah jenis  ikan air tawar  yang sangat populer dan digemar...