Jumat, 22 Februari 2019

BUDIDAYA CACING SUTERA

BUDIDAYA CACING SUTERA

1. BIOLOGI CACING SUTRA
Cacing sutra (Tubifex sp) merupakan salah satu pakan alami yang paling banyak digunakan bagi kegiatan budidaya ikan khususnya pembenihan. Cacing sutra dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Cacing rambut atau Cacing darah karena ukurannya yang sangat kecil seukuran rambut dan warnanya kemerahan dengan panjang sekitar 1-3 cm. Cacing sutra ini bisa diperoleh dari hasil tangkapan di alam (perairan umum) atau mengkultur sendiri (budidaya). Cacing sutra merupakan salah satu alternatif pakan alami yang dapat dipilih untuk ikan fase larva hingga benih ataupun untuk ikan hias.

2. KLASIFIKASI CACING SUTRA
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
Cacing sutra (Tubifex sp) tidak memiliki insang dan bentuk tubuh kecil dan tipis. Cacing sutra membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan Cacing sutra akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Cacing sutra dapat membantu fungsi pernafasan. Cacing sutra tergolong hewan hermaprodit yang berkembang biak melalui telur dengan pembuahan secara eksternal. telur yang dibuahi oleh jantan akan membelah jadi dua sebelum saat menetas.

3. SYARAT HIDUP CACING SUTRA
Cacing sutra dikenal juga sebagai Cacing rambut ini dapat hidup pada subtrat lumpur dengan kedalaman antara 0 – 4 cm. Pada prinsipnya hidupnya sama dengan hewan air lainnya yaitu ketergantungan dengan air. Air memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting untuk hidup dan dalam tumbuh kembangnya. Kualitas air yang cocok untuk budidaya Cacing sutra adalah:
 pH antara 5. 5 – 8. 0
 Suhu antara: 25 – 28o c
 DO (oksigen terlarut ) : 2, 5 – 7, 0 ppm
 Jumlah debit air secukupnya dan tidak terlalu besar mengingat Cacing ini sangat kecil.

4. PEMILIHAN LOKASI
 Lokasi yang cocok untuk budidaya Cacing sutra harus mendapatkan cahaya matahari yang cukup
 Kondisi air untuk budidaya harus mengandung lumpur dan kaya akan bahan organic

5. PERSIAPAN BIBIT
 Bibit Cacing sutra yang akan tebar, terlebih dahulu dikarantina selama 2-3 hari dengan cara dialiri air bersih dengan debit yang kecil sehingga bibit Cacing memiliki kandungan oksigen yang cukup dan kesehatan Cacing sutra akan terpelihara, jauh dari bakteri patogen yang sangat membahayakan bagi ikan yang memakannya
 Ciri morfologi Cacing sutra cecara mikroskopik adalah tubuhnya berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Pada setiap segmen di bagian punggung dan perut akan keluar seta dan ujungnya bercabang dua tanpa rambut. Bentuk tubuh agak panjang dan silindris, mempunyai dinding yang tebal terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya

6. WADAH DAN MEDIA KULTUR TUBIFEX
A. Kolam tanah
Media kultur Cacing Tubifex dengan wadah kolam tanah adalah berupa lumpur selokan setebal 5 cm yang dicampur rata dengan kotoran hewan (ayam, Kambing, burung dll) sebanyak 100 - 250 g/m2 atau dedak sebanyak 200-250 g/m2. Rendam media tersebut selama 3-4 hari. Kotoran hewan yang akan dipakai sebagai media harus dibersihkan dari bahan-bahan lain dan dijemur di bawah terik matahari selama 1 hari atau dalam kondisi kering. Setelah di rendam selama 3-4 hari, aliri media dengan air secara kontiniu dengan debit yang kecil

B. Bak semen
Wadah kultur dengan bak semen dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengisi dasar bak dengan lumpur halus yang berasal dari saluran atau kolam yang dianggap banyak mengandung bahan organik hingga ketebalan mencapai 10 cm. selanjutnya masukkan kotoran hewan kering sebanyak tiga karung atau sesuaikan dengan luas wadah, kemudian sebar secara merata dan selanjutnya diaduk dengan lumpur. Setelah dianggap rata kemudian genangi bak semen tersebut dengan air dengan kedalaman maksimum 5 cm atau sesuaikan dengan panjang pipa pembuangan. Pasang atap peneduh untuk mencegah tumbuhnya lumut di bak semen yang sudah tergenang air tersebut dibiarkan selama satu minggu agar kandungan gas hilang.

C. Media Tray / Nampan Plastik
Media dengan mengunakan nampan plastik dilakukan dengan sistim rak. Saluran masuknya air cukup ditaruh pada nampan paling atas. Kemudian beri lubang pada samping nampan tepat ditengah. Sehingga nampan paling atas jika sudah terisi setengah kelebihan air akan mengalir pada nampan dibawahnya. Dan untuk bagian paling bawah . Sebelum diisi air, beri nampan campuran lumpur sawah dan pasir. Untuk menambah nutrisi, beri lumpur yang telah dicampur dengan kotoran hewan dan ampas tahu yang sudah difermentasi dengan EM4. Diamkan dahulu 5 hari. Kemudian air dimasukkan setinggi 5 cm,

D. Rak Terpal Bersusun
Media budidaya yang digunakan pada metode rak terpal bersusun adalah dengan melakukan proses fermentasi campuran tanah, pasir, dan kotoran hewan dengan bahan EM-4. Setelah media terfermentasi dengan baik, kemudian dilakukan pemindahan media kedalam wadah rak terpal bersusun. Selanjutnya wadah tersebut digenangi air setebal 5 cm dari permukaan media. Kemudian dibiarkan sampai media tidak berbau.

7. PEMUPUKAN
Pemupukan perlu dilakukan sebagai Asupan makanan untuk pertumbuhan Cacing sutra. Pemupukan dilakukan dengan dedak halus atau ampas tahu sebanyak 200 – 250 gr/M2 atau dengan pupuk kandang sebanyak 300 gr/m2 sebagai sumber makanan Cacing sutra. Cacing sutra sangat menyukai bahan organik sebagai bahan makanannya. Pemupukan ulang dengan menambahkan kotoran ayam sebanyak 9 % dari volume awal dapat dilakukan setiap minggu.

8. PENANAMAN BIBIT
Setelah media dalam setiap wadah kultur Cacing sutra direndam selama 5-7 hari atau sampai media kultur tidak berbau. Dilakukan penebaran Bibit yang telah dibersihkan. Bibit Cacing ditebar 1 liter/m2 kedalam lubang-lubang kecil dalam media kultur dengan jarak antara lubang sekitar 10-15 cm. Cacing sutra ini ditebarkan secara merata. Selama proses budidaya wadahpemeliharaan dialiri air dengan debit 2-5 Liter/detik (arus lamban).

9. PEMELIHARAAN
- Selama pemeliharaan, air dialirkan kedalam media secara terus menerus dengan debit air yang cukup untuk menjamin ketersediaan oksigen dalam media
- Makanannya adalah bahan organik yang bercampur dengan lumpur atau sedimen di dasar perairan
- Selama pemeliharaan Cacing diberi pakan sebanyak 100% dari bobot biomassa dengan frekuensi 3 hari sekali
- Bahan pakan yang diberikan berupa ampas tahu atau campuran (ampas tahu + molase+ probiotik)

10. PEMANENAN
- Panen bisa dilakukan setiap dua minggu sekali selama beberapa minggu secara berturut-turut selama budidaya berlangsung.
- Pemanenan Cacing sutra dilakukan dengan menggunakan serok dengan bahan yang halus/lembut
- Cacing sutra yang baru panen masih bercampur dengan media budidaya, dimasukkan kedalam ember atau bak yang diisi air kira –kira 1 cm diatas media budidaya. Kemudian ember ditutup hingga bagian dalam menjadi gelap dan dibiarkan selama enam jam hingga Cacing sutra naik ke permukaan media budidaya.
- Cacing rambut yang sudah menggerombol diatas media kemudian diambil dengan tangan, kemudian dipindahkan ke wadah bersih yang telah dipasang aerasi

SUMBER:
Direktorat Pakan, 2016. Budidaya Cacing Sutra (Tubifex sp). Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Jakarta

MENGENAL KEPITING BAKAU (Scylla serrata)



MENGENAL KEPITING BAKAU

Kepiting bakau adalah salah satu komodti perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Di Indonesia dikenal ada 2 macam kepiting sebagai komoditi perikanan yang diperdagangkan/komersial ialah kepiting bakau atau kepiting lumpur; dalam perdagangan internasional dikenal sebagai Mud Crab” dan bahasa Latinnya  Scyla serrata dan ada juga kepiting laut atau rajungan yang nama internasionalnya “Swimming Crab” dengan nama Latin:  Portunus pelagicus.  Kedua  macam  kepiting tsb nilai ekonominya sama, dan keduanya diperoleh dari penangkapan dialam. Dalam folder ini khusus di uraikan dan dibahas tentang spesies Kepiting Bakau (Scylla serrata) saja.
Kepiting bakau ditangkap dari perairan estuaria yaitu muara sungai , saluran dan petak2 tambak , diwilayah hutan bakau dimana binatang ini hidup dan berkembangbiak secara liar. Kepiting bakau lebih suka hidup diperairan yang relative dangkal dengan dasar berlumpur, karena itu disebut juga Kepiting Lumpur (Mud Crab).
Sedangkan  rajungan  ,  ditangkap  oleh  nelayan  dilaut  dekat  pantai  sampai sejauh 1-2 mil dari pantai, karena rajungan hidup pelagis  (di badan air laut). Namun demikian Kepiting Bakau juga dapat tertangkap di laut dekat pantai, karena kepitng bakau yang hendak kawin dan bertelur, juga berpindah di wilayah laut  dekat pantai.
Bentuk (habitus) kepiting bakau disajikan pada gambar:1 dibawah ini. Terlihat bentuk badannya yang didominasi oleh tutup punggung (karapas ) yang berkulit chitin yang tebal.
Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi dibawah karapas itu. Anggota badannya berpangkal pada bagian dada (cephalus) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu  5 pasang kaki jalan.
Kaki jalan  terdepan (nomer 1) berbentuk capit yang besar ; kaki jalan nomer 2,3 dan 4 berujung runcing yang berfungsi untuk berjalan ; kaki jalan  nomer  5 berbentu pipih berfungsi sebagai dayung bila ia berenang. Pada cephalus (dada) terdapat organ2 pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan). Sedangkan bagian tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu bermuara saluran cerna (dubur).
Pada kepiting jantan , bentuk abdomen itu segitiga meruncing, terbentuk dari deretan beberapa ruas  (gambar : 2).  Sedangkan kepiting betina bentuk abdomen seperti segitiga juga tetapi lebar, dibawahnya terdapat bulu-bulu (umbai-umbai) dimana telur-telurnya melekat ketika dierami.


HABITAT DAN PENYEBARAN
Kepiting Bakau   terdapat di wilayah perairan pantai   estuaria dengan kadar garam 0 sampai 35 ppt.  Menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang tidak terlalu dalam  sekitar 10- 80 cm  dan terlindung,seperti di wilayah hutan bakau.
Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak. Dilaut dekat pantai, seringkali nelayan dapat menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur.   Agaknya kepiting bakau menyukai laut sebagai tempat melakukan perkawinan, namun kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak didaerah pertambakan dan hutan bakau yang berair   tak terlalu dangkal (lebih dari 0,5 m).
Habitat hutan bakau itulah habitat utama bagi kepiting untuk tumbuh dan berkembang, karena   memang subur dihuni oleh organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau itu. Jadi cocok sebagai “ breeding gound” (tempat memijah) dan “nursery ground”(tempat anak-anak kepiting berkembang/tumbuh) .
Kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis yang sangat luas , yaitu pantai wilayah Indo Pasific barat, dari pantai barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah utara : dari Jepang bagian selatan sampai pantai utara Australia. Dan di pantai barat Amerika bagian selatan. (Moosa et al., 1985 dalam Mardjono et al., 1994).

DAUR HIDUP DAN PERKEMBANGBIAKAN.
Kepiting bakau ialah binatang Kelas Krustasea sama halnya dengan Udang. Badannya beruas-ruas yang tertutup oleh kulit tebal dari zat khitin. Karena itu secara periodik berganti kulit (moulting) yang memungkinkan binatang ini tumbuh pesat setelah ganti kulit .  Binatang yang masih muda berganti kulit lebih sering dibanding dengan yang tua. Sehingga yang muda tumbuh lebih cepat dari pada yang telah tua.
Mekanisme ganti kulit itu sejalan pula dengan periodisitas dari saat perkawinannya.  Bila  Kepiting  (juga  Udang)  sedang  tumbuh  kembang  gonadnya terjadi ketika kulitnya sedang keras (intermoult) . sedangkan menjelang perkawinan, pasti terjadi proses ganti kulit (mating moult) sehingga kulit yang betina lunak memudahkan   bagi   pejantannya   melakukan   proses   perkawinan,   memasukkan sperma kedalam thelycum alat kelamin) betinanya.



Gambar 1.  Kepiting berpasangan  ( foto: Aldrianto, 1994)

DAUR HIDUP
Kepiting  betina yang sudah kawin dan memijah (melepaskan telur-telurnya), telur lalu dibuahi (fertilisasi oleh sperma yang sudah disimpan ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah terfertilisasi tidak dilepaskan kedalam air melainkan segera menempel pada rambut-rambut yang terdapat pada umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di Indonesia yang beriklim tropika telur itu dierami” selama  20 - 23 hari sampai menetas tergantung tingginya suhu air.  Seekor induk betina kepiting bakau yang beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm) menghasilkan telur 1 1,5 juta butir. Semakin besar /berat induk kepiting, semakin banyak telur yang dihasilkan.
Telur yang baru difertilisasi ( dibuahi) berwarna kuning-oranje . Semakin berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas.
Induk yang mengerami telur biasa sedikit atau tidak makan sama sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya  dan sering tampak berdiri tegak pada kaki  dayungnya , agar telur-telur mendapat aliran air segar yang cukup oksigen.
Bila waktunya telur menetas, induk kepiting itu menggarukkan kaki-kaki jalan dan kaki dayungnya  terus menerus dengan cepat ,  untuk memudahkan pelepasan larva  yang  segera  menyebar  kesekelilingnya.  .  Disini  fungsi  kaki-kaki  jalan  itu penting, jika jumlahnya tidak lengkap atau cacat, akan mengganggu proses penetasan  tsb.
Hanya sebagian kecil saja telur yang tidak menetas dan akhirnya rontok tidak menetas.  Proses penetasan telur lamanya 3-5 jam.
Telur yang baru menetas disebut stadia pre-zoea hanya dalam waktu 30 menit berubah menjadi stadia Zoea-1. Ada 5 sub stadia Zoea yaitu Zoea-1, Zoea-2, Zoea-3, Zoea -4 dan Zoea-5. Semakin lanjut sub –stadia, terjadi penambahan organ tubuh sehingga semakin sempurna untuk pergerakan, menangkap makanan dan metabolisme tubuhnya.
Setiap sub-stadia memerlukan waktu 3-4 hari untuk berubah menjadi sub-stadia selanjutnya. Sehingga tingkat Zoea seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari untuk menjadi stadia selanjutnya yaitu megalopa.
Zoea-1 warna tubuh transparan, panjang tubuhnya 1,15 mm, matanya tidak bertangkai.
Zoea-1 geraknya masih lamban, makanannya fitoplankton . dan zooplankton yang lamban geraknya yaitu Brachionus plicatilis.
Zoea-2  geraknya lebih gesit sejalan dengan semakin berkembangnya anggota tubuh baik dalam ukuran maupun jumlahnya.. Panjang  tubuhnya 1,50 mm .  Mata bertangkai.
Makananya masih berupa fitoplankton yang ukurannya lebih besar seperti Tetraselmis chuii , Chaetoceros calcitran.  Kedua jenis fitoplankton itu selain sebagai pakan untuk Brachionus juga menyerap gas hasil metabolisme (metabolit) dari larva itu sendiri. Jadi sebagai pembersih air.
Sub-stadia Zoea-3  , ukurannya  lebih besar 1,93 mm .Dapat memangsa nauplii Artemia.  Beberapa organ tubuhnya disajikan pada Seekor Zoea-3 dapat memakan nauplii artemia sebanyak 30 ekor per-hari.
Sub-stadia Zoea-4 ,panjang tubuhnya  2,4 mm.  Pada stadia ini telah terbentuk pleopoda (kaki renang) dan pereiopoda (kaki jalan). Tampak aktif berenang karena itu lebih aktif menangkap pakannya.
Sub-stadia Zoea-5 panjang tubuhnya 3,4 mm, lebih efektif menangkap mangsanya dan geraknya lebih gesit.
Stadia berikutnya ialah Megalopa . Ukuran tubuhnya semakin besar, sehingga tidak lagi diberi pakan nauplii artemia melainkan dapat memakan artemia  instar-5 .
Panjang karapas 2,18 mm (termasuk duri rostral), lebar karapas 1,52 mm; panjang abdomen 1,87 mm panjang tubuh total (termasuk duri rostral) 4,1 mm. Mempunyai pereopoda 5 pasang. Abdomen terdiri 7 segmen memanjang kebelakang.
Stadia berikutnya ialah   Stadium Crab (kepiting muda). Bentuk dan anggota tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa. Kebiasaannya cenderung di dasar perairan. Memakan makanan yang ada didasar atau yang tenggelam. Makanan yang diberikan berupa cacahan cumi-cumi, udang kecil dsb. Tetapi juga dapat memakan nauplii artemia yang planktonis.   Biasanya juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet yang kaya nutrisi, seperti yang biasa untuk larva udang.
Pada gambar 2 disajikan daur hidup dari Kepiting Bakau   khususnya masa larva sampai benih kepiting kecil (crablet). Pada kondisi normal di Panti Pembenihan (Hatchery) , lama waktu perubahan dari  menetas  sampai  menjadi    stadium  Megalopa    21-23  hari.    Dari  Megalopa menjadi Stadium Crab-5  ialah 10-12 hari . Sehingga lama waktu pemeliharaan larva sejak telur menetas sampai menjadi benih kepiting  (crab-5) siap jual  hanyalah 30-35 hari.


Gambar 2. Daur  Hidup Kepiting Bakau


SUMBER:
Suyanto S.R., 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan No. 008/TAK/BPSDMKP/2011 “Budidaya Kepiting Bakau”. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
http://www.indonetwork.co.id/setiawanbiz_dot_com/3911848/kepiting-bakau.htm

PEMBENIHAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)



MEDIA PEMELIHARAAN
Air media pemeliharaan dengan kadar garam 30-32 ppt yang sebelumnya disaring lebih dahulu dengan saringan pasir   (sand filter) sebagaimana lazimnya pada hatchery untuk udang.  pH air berkisar 7,5 -8,5 . DO 5-7 ppt.
Dasar bak pemeliharaan induk kepiting perlu diberikan lapisan lumpur yang sebelumnya sudah di bersihkan dan disterilkan dengan cara di rebus   sampai mendidih , lalu didinginkan. Percobaan yang telah dilakukan membuktikan bahwa, induk kepiting yang dipelihara di bak yang tanpa substrat berupa dasar lumpur, hasil perkembangan  telurnya  kurang  baik,  sedikit  dan  daya  tetas  kurang (Rusdi dkk,1998).

PAKAN
Pakan untuk calon induk dan induk kepiting ialah cacahan  daging ikan, cumi- cumi yang masih segar. Pengalaman di BBAP Jepara menunjukkan bahwa cumi- cumi harus diutamakan, karena baik untuk merangsang perkembangan gonad bagi binatang krustasea : udang, kepiting (Mardjono dkk,1992). Banyaknya pakan  5-10% berat biomassa perhari.   Pakan sejumlah itu diberikan dua kali per-hari , jam 8.00 pagi dan jam 17. 00 sore. Sebelum pakan diberikan, dasar bak dibersihkan dengan cara menyipon untuk menyedot pakan yang ang masih tersisa. Bila pakan yang tersisa banyak, maka pemberian pakan berikutnya harus dikurangi. Sebaliknya bila pakan tidak bersisa , pakan yang diberikan harus ditambah.
Pembersihan bak hanya dilakukan pada pagi hari saja, kecuali bila terjadi hal yang buruk, misalnya ada gejala pembusukan dengan terlihatnya banyak busa dipermukaan air, atau air berbau busuk.
Selain pakan alami berupa daging ikan dan cumi-cumi mentah segar, juga diberi pakan buatan berupa pelet kering yang biasa diberikan untuk induk udang windu. Pakan pellet khusus untuk induk udang itu mengandung nutrisi jang baik sebagai pelengkap ,dengan kandungan protein dan lemak esensial, vitamin dan mineral. Diberikannya cukup 2-3 kali per-minggu, dengan dosis 2 % berat biomassA.

ABLASI MATA
Ablasi mata dilakukan setelah calon induk dipelihara 3-5 hari didalam bak, setelah induk-induk itu terlihat sehat, gesit dan nafsu makannya baik. Calon induk betina yang hendak di ablasi dipilih yang berkulit keras dan sehat. Pelaksana ablasi kepiting harus dilakukan oleh tehnisi yang terampil memegang kepiting agar tidak meronta. Pemotongan mata berikut tangkainya dilakukan dengan gunting yang tajam dan dipanaskan lebih dahulu , sehingga luka bekas terpotong segera kering dan tidak mengeluarkan banyak cairan.
Selesai ablasi uni-lateral (sat mata), kepiting direndam di dalam ember berisi larutan  PK 5 ppm selama  15 menit, untuk mencegah infeksi. Setelah itu kepiting dipindahkan  kedalam  bak  pemeliharaan  yang  telah  dipersiapkan  sebelumnya, dimana kepiting betina pasca ablasi itu di pelihara bersama dengan kepiting jantan, dengan perbandingan jantan : betina  2:3. 3-5 hari pasca ablasi biasanya sudah ada betina yang siap untuk perkawinan.

PROSES PERKAWINAN
Kepiting Bakau melakukan perkawinan di perairan estuaria (Arriola,1940 dalam Mardjono dkk. 1994). Perkawinan terjadi biasanya saat suhu air naik. Menjelang perkawinannya, kepiting betina mengeluarkan cairan kimiawi perangsang yaitu pheromone kedalam air yang akan menarik perhatian kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan yang berhasil menemui kepiting betina  sumber pheromone itu, lalu naik ke atas karapas kepiting betina yang sedang dalam kondisi pra lepas cangkang (premolt).  Kepiting  jantan  tsb.  membantu  proses  ganti  kulit  kepiting  betina  tsb. Selama  kepiting  betina  mengalami     proses  ganti  kulit,  kepiting  jantan  akan melindungi nya selama kurang lebih  2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina . Kondisi seperti itu disebut   “doubler formation atau premating embrace.
Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, tubuh betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga sekarang pada posisi berhadapan   untuk terjadinya kopulasi. Semetara itu cangkang betina masih dalam keadaan lunak. Spermatofora” dari kepiting jantan akan disimpan didalam spermateka kepiting betina.   Menurut Fielder dan Heasman,1978 dalam   Mardjono dkk., 1991).   Perkawinan kepiting ini dapat terjadi di waktu siang maupun malam hari.
Fielder dan Heasman (1978) mengungkapkan bahwa spermatofora yang tersimpan pada kepiting betina sekali kawin mencukupi untuk pembuahan dua kali peneluran sekor kepiting betina.   Telur yang telah matang gonad   dalam ovarium betina  akan turun ke oviduct  dan dibuahi oleh sperma, selanjutnya  telur yang telah dibuahi itu dikeluarkan lalu menmpel pada umbai- umbai (rambut-rambut pada pleopoda) untuk dierami  oleh induk betina itu. Sekali bertelur induk kepiting dapat mengeluarkan 1-8 juta butir telur , tergantung dari berat badan induk betina. , namun biasanya yang berhasil menempel pada umbai-umbai hanya 1/3  nya.

PERKEMBANGAN TELUR DALAM OVARIUM
Pada kepiting bakau, telur berkembang menuju pematangan untuk siap dibuahi, setelah terjadi kopulasi (perkawinan).   Jantan dan betina melepaskan diri , dan cangkang induk betina menjadi keras kembali.

PENGAMATAN KEMATANGAN TELUR
Mulai  sepuluh  hari  setelah  di  ablasi  mata  dan  selanjutnya  pengamatan dilakukan berselang 3 hari kemudian., dilakukan pengamatan tingkat  perkembangan gonad.   Berbeda dengan udang, kepiting bercangkang sangat tebal sehingga pengamatan gonad hanya dapat dilakukan melalui bagian belakang karapas tempat bersambungan dengan abdomen.   B again ini tampak menggembung bila telur kepiting berkembang penuh. Dan berwarna kemerahan cerah.  Fielder dan heasman (1978) dalam Mardjono (1994) membuat  tingkat perkembangan telur kepiting bakau menjadi 4 tingkatan, sebagai berikut:
-     Tingkat I: belum matang (immature), yaitu belum ada tanda-tanda perkembangan telur pada induk betina.
-     Tingkat  II: Sedang dalam proses pematangan (maturing)  perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, berwarna kuning, namun belum tampak menonjol penuh.
-     Tingkat III: Matang (ripe). Telur kepiting telah dibuah dan dikeluarkan serta menempel pada   umbai-umbai dibawah abdomen. Saat baru ditempelkan ,telur berwarna kuning muda. Selanjutnya embrio makin berkembang didalam telur dan warna telur berubah menjadi kelabu, coklat kehitaman , bila hamper menetas. Lama pengeraman (inkubasi) telur 14-20 hari.
-     Tingkat IV: Salin (spent). Seluruh telur telah menetas. Ruang dibawah abdomen terlihat kosong.
-     Pada tingkat kematangan  II akhir, telur dikeluarkan dari ovarium lalu dibuahi. Selanjutnya   telur yang sudah dibuahi itu keluar tidak membuyar kedalam air melainkan melekat pada  bulu-bulu di kaki renang (pleopoda) yang disebut umbai- umbai dibawah abdomen  mengalami masa pengeraman. Pada panti pembenihan, saat induk mulai terlihat mengerai telur, segera dipindahkan   kedalam bak pengeraman/ penetasan.  Masa pengeraman telur 14 – 20 hari.



PENGERAMAN DAN PENETASAN
Induk yang sedang mengerami telur, mengipaskan kaki renangnya secara teratur , sehingga telur-telur itu memperoleh air segar yang banyak mengandung oksigen.   Pada   masa   pengeraman   tersebut,   induk   berenang-renang   dengan   kaki renangnya  yang  terus=menerus  bergerak  dan  sering  berdiri  pada  kaki  jalan. Sehingga telur-telur terus menerus memperoleh air segar dan banyak oksigen . Hal ini penting untuk perkembangan embrio. Masa telur yang semakin tua, warnanya berubah warna menjadi kelabu kemudian coklat kehitaman.
Masa pengeraman banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada lingkungan dengan kadar garam 30-33 ppt dan suhu berkisar antara 26-300C pengeraman dapat berlangsung baik dan perkembangan telur normal.
Induk yang di ablasi proses pematangan telur berlangsung sedikit lebih cepat dan didapatkan jumlah induk matang telur lebih banyak (Mardjono dkk.,1994).
Bak untuk pengeraman dapat digunakan bak berukuran 2 x 2 x 0,5 m , terbuat dari semen atau fiber glass.  Sebagai media pemeliharaan digunakan air laut dengan kadar garam minimal 28 ppt suhu 280C.
Untuk mengurangi kecerahan cahaya matahari, bak perlu ditutup dengan anyaman bambu (gedeg) atau plastic yang tidak terlalu gelap. Kepadatan kepiting dalam bak pengeraman  1 ekor/m2 .
Selama proses pengeraman induk tidak diberi pakan. Penggantian air dilakukan setiap  hari  sebanyak  75%.  Aerasi  dipasang    1  batu  aerasi/m2  dengan  tekanan aerator diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.


Gambar 1. Mengeram telur pada umbai-umbai


PENETASAN TELUR
Setelah telur-telur berwarna kehitaman, proses penetasan akan segera berlangsung. Penetasan  biasanya  berlangsung pada  pagi  hari.  Larva  yang  baru menetas disebut pre-zoea yang sekitar 30 menit kemudian akan bermetamorfosa menjadi Zoea-1.
Pada  masa  penetasan  ini  pre-zoea  disebarkan  kedalam  air  secara  terus menrus selama 3 5 jam. Seekor induk kepiting dengan berat 100 gram (lebar karapas 11 cm) dapat menghasilkan telur sebanyak 1 1,5 juta butir.  Pada proses penetasan itu, kaki dayungnya dikipas-kipaskan dan  kaki-kaki jalan induk di garuk- garukkan kepada umbai-umbai segingga telur lepas secara bertahap. Disinilah fungsi kai-kaki jalan sehingga kelengkapan anggota badan induk sangat berperan dalam kesempurnaan proses reproduksi sajak perkawinan sampai penetasan   telurnya. Akhirnya hanya sebagian kecil dari telur yang akhirnya rontok gagal menetas.
Induk kepiting yang telah melepaskan larva yang baru menetas itu, segera dipindahkan kedalam bak pemeliharaan induk dan dirawat guna memulihkan kondisi induk. Masa pemulihan ini akan berlangsung selama 4-7 hari, setelah itu induk dikembalikan kedalam bak perkawinan bersama kepiting jantan.

SUMBER:
Suyanto S.R., 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan No. 008/TAK/BPSDMKP/2011 “Budidaya Kepiting Bakau”. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
http://www.indonetwork.co.id/setiawanbiz_dot_com/3911848/kepiting-bakau.htm

PENGOLAHAN IKAN GURAME

PENGOLAHAN IKAN GURAME A.       Potensi Ikan Gurami Ikan  Gurami  adalah jenis  ikan air tawar  yang sangat populer dan digemar...